fanfiction | THROUGH THE MIDNIGHT BLUES Chapter-1

through-the-midnight-blues-2-bbon

 

 

Author : @ladymodrus
Genre : Friendship, AU, Action, Warfare.
Cast : Andrew Choi (Siwon), Aiden Lee (Donghae), Scarlett Winchester (OC).
Rate : PG-17.
Cover : Bbon Art

Donghae dan Siwon mutlak bukan milik saya, hanya FF ini yang mutlak milik saya. FF ini terinspirasi dari lagu Super Junior yang berjudul Midnight Blues, tapi ma’af banget kalo ceritanya ga nyambung dan ketikannya ga rapih. Maklum, ngetiknya di hape sih… T___T

Happy reading!

“…I erase you then draw you out again then get lost in the darkness. Drunk off our farewell…” — (Super Junior)

 

 

:: New York — 2014 ::

“Hei, Sarge! Sedang apa kau di sana? Berdansalah denganku! Hahaha…”

Andrew hanya bisa mengelengkan kepala melihat tingkah Aiden yang tengah menari seorang diri, mabuk di atas lantai dansa dengan sebotol bir dalam genggaman dan diiringi oleh musik electro seadanya. Berkali-kali sudah Aiden memanggilnya, meminta untuk ditemani, tetapi Andrew tidak menanggapi sama sekali selain tersenyum miris melihat Aiden yang baru saja ditinggal pergi wanita yang hampir saja dinikahinya. Ia lebih memilih untuk duduk dan memperhatikan buih-buih kecil di dalam gelas wine yang sudah berada di atas meja bar semenjak tadi dan sama sekali belum disentuhnya. Ia terlarut bersama buih-buih itu; gelembung yang begitu kecil dan banyak lalu menghilang seketika begitu sampai di permukaan. Lenyap. Akan tetapi, di waktu yang bersamaan, buih-buih lainnya muncul dari dasar gelas. Begitu mudahnya ia datang, lalu pergi begitu saja.

Cause I’m easy come, easy go. Little high, little low… Mulut Andrew menggumam secara tidak sadar. Ia bersenandung perlahan, menyanyikan penggalan lirik dari lagu Bohemian Rhapsody milik Queen yang terlintas di kepalanya dengan begitu saja. Hatinya berdesir pilu, mempertanyakan apakah ada bedanya mereka dengan buih-buih wine itu? Bagi Andrew, semua sama saja; datang dan pergi dengan begitu cepat tanpa ada satu pun yang mempedulikan.

“Benar-benar keparat!” umpat Andrew pelan sesaat setelah menghela napas panjang dan mencoba melupakan segalanya, terutama wajah-wajah mereka yang selama 6 tahun terakhir ini selalu mengusik pikirannya.

“Satu jam lagi bar ini akan tutup, kalian tidak ingin pulang? Ini sudah larut malam.”

Suara seorang wanita membuyarkan lamunan Andrew. Ia mengarahkan pandangannya ke balik meja bar dan menatap wanita yang mengenakan kemeja panjang putih dengan rompi hitam tanpa lengan dan dasi kupu-kupu merah itu. Rambut panjang kecokelatan miliknya dikuncir ekor kuda, dan poni yang menutupi keningnya masih terlihat rapi, menyamarkan sedikit ekspresi lelah di wajahnya. Dia adalah Scarlett, sang bartender.

“Win, kau manis sekali,” puji Andrew yang langsung ditanggapi Scarlett dengan sebuah helaan napas.

“Kau ini masih belum berubah ternyata. Masih saja suka menggodaku,” Scarlett tersenyum ringan seraya membersihkan meja bar di depannya dengan sebuah serbet.

“Oh, jadi rayuanku tadi tidak berhasil?” canda Andrew, menyesap sedikit white wine-nya dengan masih memperhatikan Scarlett yang langsung terkekeh geli setelah mendengar ucapan Andrew tadi.

“Kau tidak pernah bosan ya?” bertanya Scarlett, masih dengan senyuman khasnya. Ia telah selesai mengelap meja, memastikan semuanya bersih dan rapih. Dan segera setelahnya, Scarlett mengambil sebotol bir dari rak minuman kemudian berjalan keluar meja bar untuk menghampiri Andrew.

“Kau adalah satu-satunya wanita yang tidak akan salah paham hanya karena sebuah rayuan, Win. Itulah yang membuatku tak pernah bosan menggodamu,” jawab Andrew, “lagipula aku tahu kau masih menaruh hati pada Minimi-mu itu,” tambahnya.

Scarlett jadi tertawa mendengarnya, “Terkadang aku memang masih merindukannya, Sarge. Aku rindu Minimi-ku.”

Scarlett menepuk hangat pundak kanan Andrew sebelum akhirnya memutuskan untuk duduk di kursi yang berada di sebelah kiri pria yang sangat dihormatinya tersebut. Ia meletakkan botol bir yang dibawanya di atas meja bar, lalu memperhatikan Aiden yang masih sibuk dengan dukanya sendirian.

Sementara Andrew, pria itu kembali larut bersama buih-buih di gelas wine-nya.

Lama mereka terdiam, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Namun semuanya berujung kepada satu hal.

“Darah lebih kental daripada air. Bukan begitu, Sarge?” Suara Scarlett menyudahi kesunyian di antara mereka.

“Ya,” jawab Andrew singkat, tanpa menoleh sama sekali.

“Di antara kita tidak ada hubungan darah, tetapi kita sangat dekat. Aku pikir kita teman, tapi pada kenyataannya kita lebih dari itu. Jadi kupikir, mungkin kita adalah sahabat, tapi…”

“Kita juga lebih dari itu,” Andrew memotong perkataan Scarlett, “aku rasa kita semua ini saudara, Win. Hanya saja tidak sedarah.”

Keduanya kembali diam untuk beberapa saat. Sebuah kenangan pilu tiba-tiba saja muncul di dalam ruang memori masing-masing.

“Kita saudara tapi tak sedarah. Jadi, sebenarnya kita ini apa, Sarge?” Mata Scarlett memandang lurus ke depan, tempat di mana Aiden masih menari-nari tak jelas dengan sesekali menenggak bir yang sudah menemaninya mencurahkan isi hati sejak 2 jam yang lalu itu.

“Mungkin kita semua hanyalah buih.”

“Ya?” Scarlett menoleh. Ia tak fokus pada ucapan Andrew karena terlalu mengkhawatirkan Aiden.

“Kita semua hanya buih,” ulang Andrew, “kita datang beriringan dan pergi juga selalu beriringan.”

Scarlett menyimak, memperhatikan setiap kata-kata Andrew dengan seksama.

“Menurutku, ada satu hal yang—mungkin—akan sedikit sulit dipahami oleh sebagian besar orang. Mungkin kita memang terlahir dari darah yang berbeda, tetapi perlu diketahui bahwa darah kita juga pernah tertumpah bersama. Dan aku rasa…,” Andrew diam sejenak, “itulah yang menjadikan kita saudara.”

Ada seulas senyuman manis yang terlukis di wajah lelah Scarlett sesaat setelah mendengar penjelasan singkat dari Andrew. Betapa dirinya menyadari bahwa ikatan di antara mereka bertiga memang sudah lebih dari sekedar sahabat, bahkan saudara. Semuanya berawal dari sebuah hal sepele; mereka sama-sama memiliki garis keturunan Korea, namun setelahnya… persahabatan di antara mereka kian erat karena sebuah peristiwa yang tidak akan pernah mereka lupakan sampai kapan pun juga.

Sh*t! Kenapa musiknya berhenti?!” Aiden mengumpat kesal karena musik electro yang mengiringinya tiba-tiba saja mati.

“Kami mau tutup, Bung. Pulanglah sana!” Sahut seorang pria paruh baya berbadan subur dari kejauhan.

“Tak apa, Paman Earl. Dia temanku,” kata Scarlett pada pria berbadan subur yang ternyata adalah pamannya sendiri—sekaligus pemilik dari kelab kecil tempatnya bekerja selama 2 tahun terakhir itu.

“Ya sudah, jangan lupa kunci rapat semua pintu,” pesan pria itu pada Scarlett.

Yes, Sir!” Kata Scarlett lagi, tepat sebelum sang paman pergi meninggalkan kelab.

“Mengganggu kesenanganku saja!” Gerutu Aiden yang masih merasa kesal. Ia berjalan agak sempoyongan ke arah Andrew dan Scarlett dengan masih menggenggam botol birnya.

“Siapkan telingamu, Win. Sepertinya dia akan bercerita tentang mantan pacarnya sampai pagi datang,” ujar Andrew santai, sedikit berkelakar.

“Terserah kau saja, Sarge,” acuh Scarlett, memutar kursinya dan duduk menghadap meja bar seperti Andrew.

Aiden terkekeh melihat ekspresi sebal Scarlett. Sepertinya ia menyadari bahwa hobi curhatnya terkadang memang sedikit berlebihan, tetapi ia juga tahu kalau dua orang sahabatnya itu selalu siap mendengarkan segala keluh kesahnya.

“Halo, Win. Apa kau mau berkencan denganku malam ini?” Aiden berseloroh begitu sampai dan menduduki kursi di sebelah kiri Scarlett.

“Halo, Doc. Apa kau punya rencana untuk mati malam ini?” Scarlett balik bertanya sembari membuka tutup botol bir yang tadi dibawanya.

Andrew hampir saja tersedak dan menyemburkan wine yang tengah diminumnya. Ia tak kuasa menahan tawa ketika mendengar ucapan Scarlett tadi, “Kau sadis, Win.”

Aiden tersenyum. Ia mengerti, Scarlett berkata seperti itu karena khawatir dirinya akan berbuat macam-macam setelah dirundung duka karena ditinggal pergi sang tunangan demi laki-laki lain, “Santai, Win. Dia cuma seorang pengkhianat. Aku tidak akan mati hanya karena kehilangan wanita jalang seperti dia,” ujar Aiden lalu meneguk lagi birnya. “Lagipula, ini bukan rasa kehilangan terbesar yang pernah aku alami, bukan?”

Segalanya berubah menjadi begitu hening setelah Aiden berucap. Bahkan Andrew yang semula asik menertawakannya mendadak diam dan kembali dirubungi duka lama yang selama ini selalu ia coba untuk lupakan—namun sayangnya tidak berhasil.

“Kita bicarakan hal lain saja, bagaimana?” Scarlett mencoba mengalihkan pembicaraan dan meminum birnya untuk sekedar menenangkan diri.

“Kita sudah terlanjur membahasnya, Win. Bukankah kita semua berada di sini memang untuk hal itu?” Andrew menghabiskan wine yang tersisa di gelasnya dan mulai menegak wine itu langsung dari botolnya.

Ia frustrasi.

“Beberapa tahun lalu kita sudah sepakat untuk tidak mengungkitnya lagi, Sarge.”

“Dan semakin lama kita mencoba untuk tidak mengungkitnya, bukankah kejadian malam itu menjadi semakin sulit untuk dilupakan? Aku rasa kau dan Sarge mengerti dengan apa yang kumaksud, Win,” sanggah Aiden dengan sorot mata yang serius.

Helaan berat napas Scarlett terdengar pilu. Sudah terlalu lama mereka mencoba melupakan apa yang terjadi dan menepis jauh-jauh rasa bersalah yang menggerogoti mereka. Dan apakah mereka harus melewati malam ini dengan rasa duka yang sama seperti yang mereka rasakan enam tahun lalu?

Semuanya hanya diam. Bergelut dalam kesunyian yang perlahan membawa mereka kembali pada sebuah kenangan di masa silam.

***

:: Karbala, Irak — 2008 ::

PULLBACK!!!

DHUARR!!!

Deru senapan mesin dan ledakan granat memecah keheningan malam. Suara Letnan Parker—yang memimpin 15 personil US Army termasuk Andrew, Aiden dan Scarlett dalam sebuah patroli—seolah tenggelam dalam riuh desingan peluru yang melesat tajam. Parker dan anak buahnya baru saja gagal mendapatkan tawanan. Hal itu memaksanya untuk menarik mundur semua personil kembali ke markas. Namun sayangnya, jip mereka hancur terkena tembakan RPG dan semuanya harus menunggu jemputan datang.

Hembusan angin yang melengkapi dinginnya malam terasa semakin kencang seiring dengan terdengarnya suara putaran rotor helikopter dari kejauhan. “Sir, itu mereka!” Seru Kirsch, menunjuk ke sumber suara dimana helikopter yang akan membawa mereka pulang telah sampai.

“Jemputan kita sudah datang, semuanya bergerak!” Perintah Parker dengan lantang kepada seluruh anak buahnya.

Satu per satu dari mereka mulai melangkah cepat, berlari menuju helikopter yang mendarat sekitar lima puluh meter di belakang mereka.

“Win, ayo!” Haner menepuk pundak kanan Scarlett—yang masih berkutat dengan FN Minimi miliknya—sambil berlalu dan mengajaknya untuk pergi meninggalkan lokasi pertempuran dengan segera.

Scarlett berhenti menembak. Ia kemudian berlari beberapa meter di belakang Haner dan Parker, melewati beberapa orang rekannya yang masih berlindung di balik tembok dan bangkai kendaraan—memberikan mereka tembakan perlindungan—sebelum akhirnya turut mengekor menuju helikopter.

“Cepat!” Seru salah seorang kru yang kemudian membantu mereka masuk ke dalam heli satu per satu.

Parker, Haner, dan Scarlett sampai pertama dengan diikuti Keefe yang langsung mengambil posisi di sebelah kiri kru dan mulai membidik target—memberi tembakan perlindungan—dengan menggunakan senapan Colt M733 kesayangannya.

“Cepat! Cepat!” Panggil Keefe kepada teman-temannya yang masih berlari menuju helikopter.

Keane, Sheen, Lynch dan Liebermann bergegas masuk dengan menenteng persenjataan mereka. Begitu pula dengan Keller, Korsakov, Jones, Zhou dan Lautner.

“Sudah semuanya?” pilot helikopter menoleh ke belakang, memperhatikan para prajurit yang sudah siap untuk dibawa kembali ke markas. “Kita berangkat sekarang.”

“Tunggu!” Sergah Parker dengan cepat. Ia merasa ada sesuatu yang kurang di sana, “Di mana Choi dan Lee?”

Semua personil—termasuk Scarlett—sontak mengedarkan pandangan ke sekitar dan mencari di mana keberadaan Andrew dan Aiden. Sayangnya kedua pria itu tidak terlihat dimana pun. Seingat Scarlett, Andrew masih meng-cover sisa personil peleton dan memerintahkan mereka untuk segera menuju helikopter. Sedangkan Aiden, ia tidak begitu ingat di mana posisi terakhir petugas medis mereka itu.

“HEEEEEY….!!!!!”

DHUAR!!!

Sebuah suara terdengar di antara bisingnya ledakan.

“TUNGGU KAMIII….!!!!”

Sir, itu Sersan Choi dan Doc Lee!” Seru Liebermann ketika melihat Andrew dan Aiden di kejauhan.

“TUNGGU KAMIII….!!!!” Teriak Aiden lagi, lantang dan sedikit panik. Ia tampak kewalahan. Terseok menenteng senapan di tangan kanannya, Aiden merangkul Andrew yang tengah tertatih menahan rasa sakit yang begitu membakar di paha kirinya. Ada noda darah membasahi balutan perban yang melingkar di kaki pria itu.

Andrew tertembak.

Sarge!!” Scarlett sudah menyadari adanya sesuatu yang tidak beres ketika pertama melihat mereka berjalan dengan susah payah melewati kilatan peluru yang melesat tajam dalam kecepatan tinggi—seakan berhasrat untuk menembus tubuh mereka dan melumpuhkannya.

“Keane, pergilah ke sana dan bantu mereka kemari. Cepat!” Perintah Parker pada Keane. Ia sepenuhnya menyadari bahwa kedua anak buahnya di sana sedang berada dalam bahaya. Posisi Andrew dan Aiden terlalu terbuka dan sangat memungkinkan untuk menjadi sasaran empuk milisi bersenjata yang semakin banyak berdatangan. Bahkan sudah tak seharusnya helikopter mereka tinggal lebih lama lagi di sana karena limpahan timah panas semakin deras menghujani mereka.

Yes, Sir!” Sahut Keane yang dengan segera turun dari helikopter untuk membantu Andrew dan Aiden.

Namun baru beberapa langkah Keane berlari, salah seorang milisi dengan AK-47 memberondongnya dengan tembakan membabi buta.

F**k!!!” Keane tersungkur di atas tanah dengan darah segar mengalir dari lengan kirinya. “Sial!”

Keefe dan Jones segera mengarahkan tembakan mereka ke milisi berpakaian hitam itu dan berhasil melumpuhkannya. Hal itu dimanfaatkan oleh Korsakov untuk membantu Keane kembali ke dalam helikopter.

Akan tetapi satu orang milisi berhasil diatasi tidak lantas membuat kadaan menjadi aman. Andrew dan Aiden masih berada jauh di ujung jalan sana dengan semakin gencarnya tembakan mengarah ke mereka.

“Arah jam 10!!!” Teriak Sheen spontan ketika melihat seorang milisi berdiri di jendela salah satu bangunan dengan RPG di pundak kanannya, tengah membidik ke arah mereka.

Tanpa berpikir panjang, salah satu kru helikopter dengan sigap memutar senapan mesinnya ke arah yang ditunjuk oleh Sheen dan menembakinya—mencegah milisi itu menembakkan RPG. Sayangnya kendati telah berhasil dilumpuhkan, granat itu telah terlanjur meluncur, melenceng ke arah lain.

“AWAS…!!!”

DHUARR!!!!

Granat itu mengenai sebuah bangunan di seberang jalan. Andrew dan Aiden jatuh terhempas karena ledakan itu terjadi tidak jauh dari tempat mereka berada.

Sarge!! Doc!!

Seluruh personil peleton menjadi panik. Tak terkecuali Scarlett. Ia tidak bisa tinggal diam dengan begitu saja sementara bahaya sedang mengancam nyawa dua orang sahabatnya. “Pegang ini!” Scarlett menyerahkan Minimi-nya kepada Lautner yang hanya bisa terpaku melihatnya keluar dari helikopter dan berlari kencang menuju Andrew dan Aiden.

“Winchester, kau mau ke mana??” Parker terkejut ketika melihat Scarlett sudah berada di tengah jalan, pergi tanpa membawa senapan.

Scarlett tak menggubris Parker, ia terus berlari tanpa mempedulikan tembakan musuh yang bisa saja mengenainya.

“WINCHESTER, JANGAN KE SANAAA……!!!!!”

 

 

 

 

 

 

 

TBC

5 responses to “fanfiction | THROUGH THE MIDNIGHT BLUES Chapter-1

  1. aku bingung waktu baca genrenya. warfare? baru kali ini aku nemuin ff bergenre warfare. dan setelah dibaca eh bener ada perangnya. keren, thor 😀 tapi sayang tbc 😦 dilanjut plisss

    Suka

  2. tegang sangattt
    dilanjuut dong, chinguu .. bacanya serasa ada ditengah pertmpuran .. dan sebnarnya aiden scarlet andrew terlbat cnta segi tiga ngga sih?? spertinya mereka saling meledek” tapi mesra, ahaha..,,, yg aku tangkap sich begitu .. suka sekali! lanjut jebal xD

    Suka

Tinggalkan komentar